™[]**To See The Complete Entry Is Click Post Title**[]™
™[]**To See The Complete Entry Is Click Post Title**[]™

Jumat, 24 Agustus 2018

Leiden is Lijden : Pemuda Harus Berani Mengambil Peran

Leiden is Lijden, memimpin adalah menderita, begitulah kata pepatah kuno Belanda. ungkapan ini melekat pada diri Haji Agus Salim dalam sebuah tulisan, karya Mohamad Roem dengan judul, "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita. 

Siapa yang tak kenal Haji Agus Salim (1884), beliau merupakan pejuang kemerdekaan yang begitu mahsyur akan pengetahun dan hidup sederhana yang dijalaninya meskipun pernah menjadi seorang menteri. setelah Indonesia merdeka beliau menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri Republik Indonesia kabinet Sutan Sjahrir dan Menteri Luar Negeri kabinet Amir Sjarifuddin. Haji Agus Salim merupakan diplomat ulung yang begitu terkenal dengan kemampuan komunikasi yang meliputi sembilan bahasa, terbukti dengan sangat berjasanya beliau dalam penggalangan dukungan negara Arab untuk kemerdekaan Indonesia. kehidupan beliau sangatlah sederhana, tercermin dari keadaan rumah tangga yang pada tahun 1915 beliau harus mulai merasakan pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. jika kita melihat pada background pendidikan, beliau merupakan Lulusan terbaik Hogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III Batavia dan pernah bekerja sebagai penerjemah ahli konsulat Hindia Belanda di Jeddah, juga mendirikan sebuah Sekolah Dasar. meski dengan background tersebut tetap membuat beliau sangat merasakan kehidupan sederhananya. pengalaman beliau yang ditulis oleh Roem mengambil kesimpulan "jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, memimpin adalah jalan yang menderita."

menjadi pemimpin bukan perkara yang mudah, pemimpin bukanlah orang yang mampu leluasa untuk berbuat menurut kesenangan diri saja, meskipun potensi untuk berbuat kesenangan itu ada dan begitu mungkin untuk direalisasikan. pemimpin adalah seorang yang harus dengan ikhlas mengorbankan segala kemampuannya untuk menghadirkan kesejahteraan bagi orang yang dipimpinnya, kepercayaan menjadi modal paling penting untuk memimpin karena bersamaan dengan kepercayaan itu terselip harapan-harapan dari rakyat. disamping kepercayaan yang begitu besar, seorang pemimpin harus mempunyai pola pikir yang jauh lebih visioner untuk menghadapi tantangan yang akan datang. dan siap dengan konsekuensi menderita karena harus mendahulukan kepentingan rakyatnya. kepemimpinan tidak berbicara benefit juga tidak berbicara eksistensi, kepemimpinan hanya berbicara tentang ide dan penerapan keadilan yang harus direalisasikan ketika memimpin. bahkan ada yang mengatakan menjadi pemimpin artinya memberikan kemerdekaan diri untuk kemerdekaan orang yang lain.

zaman yang terus berkembang menghasilkan beragam diskursus, untuk menghadapi dinamika zaman ini diperlukan pemimpin-pemimpin yang memenuhi klasifikasi, beragam spekulasi tentang pemimpin ideal mengarah kepada para pemuda. bonus demografi menjadi salah satu pertimbangan. pemuda yang mengenyam tingkat pendidikan di perguruan tinggi atau universitas terus berupaya menjadikan kampus sebagai tempat beraktualisasi diri, dimulai aktif pada kegiatan akademik, organisasi hingga kegiatan-kegiatan sosial lainnya. bukan hal yang biasa jika pemuda sudah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang berbau kepemimpinan.

"Muda adalah kekuatan" merupakan tagline yang saat ini sedang ramai diperbincangkan. tagline ini muncul pada reklame-reklame untuk mengisyaratkan pemuda turun tangan dalam menata kehidupan bernegera. disatu sisi, bonus demografi akan sangat menguntungkan jika dikelola dengan begitu baik. menjadikan kekuatan bagi negara ini untuk mampu meningkatkan daya saing dan pergaulan yang terbuka bagi Indonesia dimata dunia. Leiden is Lijden "memimpin adalah menderita" bukan hanya sebagai kutipan tapi inilah yang menjadikan tolak ukur dari konsekuensi kita dalam menjadi seorang pemimpin.

tulisan ini saya dedikasikan untuk mereka yang masih memperhitungkan untung-rugi menjadi seorang pemimpin

Minggu, 05 Agustus 2018

Budaya Patriarki masyarakat pedesaan

Dalam konstruksi sosial, Laki-laki sering di gambarkan sebagai orang yang kuat,  mandiri dan mampu mendominasi dalam peran politik. Dominasi yang dimaksud ialah kepemilikan hak istimewa seorang lelaki terhadap peran yang harusnya tidak dapat dimiliki seorang perempuan, seperti hak istimewa laki-laki dalam partisipasi politik,  kemandirian ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain. Dominasi itulah yang menjadikan laki-laki sebagai subjek dalam relasi kekuasaan dan perempuan sebagai objeknya. Hingga banyaknya kasus kekerasan yang terjadi seringkali menempatkan perempuan sebagai korban atas kekerasan tersebut. Kekerasan yang dimaksud bukan hanya pada kekerasan fisik melainkan menyentuk ranah psikis. Bagi kebanyakan orang, kekerasan psikis sangat berdampak pada pola dan tingkah laku seorang wanita kedepannya, karena kekerasan inilah yang menjadikan seorang perempuan menyimpan memori buruk hingga hilangnya rasa kepercayaan diri, dan ketakutan dalam bertindak. 

Rata-rata 710 kasus kekerasan yang terjadi pada wanita per-harinya, itupun merupakan kekerasan yang berani dilaporkan, bagaiaman dengan kasus kekerasan yang tidak menyentuh ranah hukum, Ialah kembali kepad pribadi seorang perempuan untuk kemudian berani melaporkan kejadian yang dialaminya.

Budaya patriarki biasanya tumbuh dan terawat dalam lingkup keluarga yang menjadikannya budaya turun-temurun. Madrasah pertama seorang anak ialah keluarganya (ibunya) sehingga ibu memiliki peran penting dalam mendidik dan membina seuatu generasi.  Jika kita melihat kondisi masyarakat pedesaan, akan sangat mungkin kita temui seorang anak perempuan yang harusnya mendapatkan akses pendidikan yang layak hanya berada dalam rumah untuk membantu pekerjaan dapur,  sementara saudara laki-lakinya yang dianggap sebagai anak yang kuat sehingga mampu untuk mendapatkan hak pendidikan yang layak.

Sehingga penulis berpandangan, budaya patriarki mempunyai kekuatan yang absolut di tingkat pedesaan yang menjadikan sensor kedalian gender ini akan tidak bekerja dalam menegakkan keadilan gender, dan penulis juga mengajak pembaca untuk ikut mensosialisasikan pentingnya keadilan gender ini untuk kehidupan bermasyarakat demi memupus rantai budaya patriarki yang terjaga pada masyarakat pedesaan. 

Oleh: muhammad ridha Pratama

Menurut rene Descartes, memahami filsafat itu harus dari sesuatu yang sederhana dan mendasar agar memudahkan kita dalam memahami objek yang di telaah tersebut , yang Dalam hal ini berbicara tentang manusia.

Ketika memfilsafati manusia itu sendiri, maka muncul lah pertanyaan - pertanyaan yang mendasar. Seperti siapakah sesungguhnya manusia itu? Bagaimana kedudukan manusia dalam semesta alam raya ini? Apakah arti nilai , makna dan esensi hidup manusia itu? Dan menimbulkan berbagai pertanyaan lainnya.

Manusia adalah entitas yang dengan mengasingkan dirinya sendiri, dari dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri, dalam dirinya sendiri.
Berbicara soal manusia , tentu merujuk pada prespektif atau bagamaina cara kita memandang manusia itu sendiri, misalnya menurut beberapa ahli:
1. Animal rasional
2. Animal symbolic, karena manusia mengkomunikasikan dan menafsirkan bahasa menggunakan simbol simbol.
3. Homo feber, dimana manusia adalah makhluk yang melakukan suatu pekerjaan dan dapat menjadi gila dengan pekerjaannya itu.
4. Homo faber, manusia adalah tukang yang menciptakan alat alat dan menggunakannnya
5. Homo sapien, makhluk yang Arif dan memiliki akal budi dan mengungguli makhluk lain
6. Homo ludens, makhluk yang cenderung suka bermain
7. Homo Prudential, makhluk yang menggunakan cara apapun untuk tetap hidup. Dan lain lain
Dengan menggunakan prespektif tersebut, maka kita memiliki sedikit pijakan atau dasar dalam memahami manusia itu sendiri serta dapat menganalisis perilaku manusia dengan perspektif tersebut.

Oleh: muhammad ridha Pratama

Hasbi Halik : Diskriminasi gender dalam kehidupan masyarakat bawah



Gender adalah pembedaan cara pandang sosial masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini kerap kali menimbulkan permasalahan-permasalahan keadilan terhadap gender.  Gender ini berbeda dengan seks atau jenis kelamin,  dimana gender membahas terkait strata atau perilaku sosial sedangkan jenis kelamin membahas hal empiris dari laki-laki dan perempuan.
Permasalahan gender sangat sering dibenturkan dengan permasalahan ekonomi. Dimana keluarga yang dipimpin oleh ayah atau seorang laki-laki yang sedang dalam kondisi ekonomi rendah akan menuntut ibu rumah tangga dalam keluarga tersebut ikut mencari nafkah. Bahkan yang sering terjadi adalah menikahkan anak perempuannya yang bahkan belum selesai menempuh pendidikannya.
Kondisi ibu rumah tangga yang berniat membantu perekonomian keluarganya dengan ikut bekerja mencari nafkah diluar rumah seringkali tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Perempuan selalu dianggap memilih derajat yang lebih rendah dibanding laki-laki.  Sehingga upah yang diterima banyak yang tidak sesuai dengan kerja yang dilakukannya,  bahkan jauh lebih rendah.
Begitu juga dengan anak yang dinikahkan dan harus putus sekolah. Kondisi ini tidak akan merubah strata sosial keluarganya, bahkan hanya akan memperpanjang status masyarakat bawah yang telah melekat pada keluarganya. Parahnya lagi ketika perempuan yang menikah dini ini ditakdirkan menjadi seorang ibu, yang juga merupakan madrasah pertama bagi anaknya. kondisinya dengan pendidikan yang tidak memadai akan sulit mengajarkan hal-hal yang bersifat mengembangkan kepada anaknya yang juga merupakan masa depan bangsa.
Ketidak adilan ini yang harus kita sosialisasikan bersama. Bahwa manusia itu diciptakan sama dengan hidup di strata yang sama dalam bermasyarakat,  yang membedakan hanyalah kebutuhan biologis yang sifatnya mutlak pemberian tuhan. Sehingga dalam praktiknya bermasyarakat, tidak ada lagi permasalahan serupa dan keluarga dari kalangan masyarakat ekonominya berkekurangan tapi tetap mau berjuang dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan tidak ada lagi kata diskriminasi gender dalam bermasyarakat.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management